Minggu, 30 Mei 2010

sayyed husen nasr

Latar Belakang

Kemunculan perkembangan dan pemikiran modern dalam islam, jika ditelusuri, senantiasa bersentuhan dengan Barat. Mayoritas suatu Negara tidak ada satupun penduduk islam yang tidak melakukan modernisasi tanpa mendapat penetrasi dari barat, sehingga tidak bisa dielak lagi bahwa hampir semua pemikir modern islam adalah produk Barat. Salah satunya adalah Seyyed Hossein Nasr, ia adlah pemikir islam modern yang berpendidikan Barat.

Kenyataan ini seolah-olah memberikan dalil bahwa apabila suatu Negara yang berpendudukan muslim dan pemikirannya tidak bersentuhan dengan Barat dan tidak akan ada gerakan dan pemikir islam modern. Respon para anak didik barat tentang budaya barat sendiri tidak sesuai dengan kecenderungan yang ada.

Respon Nasr tentang ini adalah menentang world view dan cenderung menjadi fundamentalis. Dalam hal ini ia melakukan kritikterhadap barat-modern dan enggan melakukan kompromi dengan barat. Ia lebih percaya pada budaya tradisi sendiri yaitu Islam.

Rumusan Masalah

1. Biografi Sayyed Hossein Nasr

2. Pemikran Sayyed Hossein Nasr


Biografi Sayyed Hossein Nasr

Sayyed Hossein Nasr lahir di Teheran pada tanggal 7 april 1933. Ayahnya seorang dokter dan pendidik. Ia tinggal di Amerika Serikat karena hendak masuk salah satu perguruan tinggi disana. Ia bekerja di salah satu universitas Harvard dalam bidang geologi dan fisika. Keinginannya tidak pernah padam pada disiplin tradisionalynag menuntutnya berganti pada bidang filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan hingga ia menerima gelar doctor pada tahun 1958[1].

Setelah mendapatkan gelar doctor, Nasr kembali ke Iran dan mengajar di Universitas Teheran. Pada saat itu terjadi Revolusi Iran 1979 yang berakhir dengan tersingkirkannya Reza Pehlevi, ketika itu Nasr masih menjabat sebagai direktur imperial Iranian, academy of philosophy, yaitu suatu jabatan bergengsi yang mengantarkannya untuk menerima gelar kebangsaan dari sang raja diraja, rezim penguasa yang secara terus terang didukungnya.

Kedekatannya dengan penguasa ini mengakibatkan dirinya masuk dalam daftar hitam (black list) oleh para aktivis yang menentang ajaran syah, termasuk didalamnya Ali Syariati. Semenjak itu Nasr keluar dari lembaga yang diikitunya yaitu Husainiya al Irsyad, yang pada awalnya ia bergabung dengan Ali Syariati dalam lembaga tersebut. Keluarnya Nasr dari lembaga tersebut karena perbedaan ‘’ideologi’’.

Setelah keluar dari lembaga tersebut ia diangkat menjadi presiden Aga Khan dalam bidang Islamic Studies di American University pada ajaran 1964-1965. ia adalah seorang muslim pertama yang menduduki jabatan tersebut. Posisi ini mengatarkan ia sebagai juru bicara yang memberikan penjelasan tentang islam dari sudut pandang islam sendiri, dan memberikan alat kepada dunia islam untuk menjawab klaim semua pemikiran modern seperti: materialisme, eksistensialisme, histotisme, saintisme, dll. Dalam hal ini Nasr juga mengadakan dialog dengan agama-agama lain, terutama agama Kristen.

Nasr juga sering diundang untuk memberikan ceramah atau kuliah diberbasgai Negara. Ia adalah orang muslim pertama yang mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato dalam Gifford Lecture, sebuah forum bergengsi bagi kalangan teolog, filsuf, saintis Amerika dan Eropa sejak didirikan pada 1889 di Universitas Edinburg.

Pemikiran Sayyed Hosein Nasr

Kritik Terhadap Barat

Dalam beberapa karyanya, Nasr banyak meneliti dan mengkritik Barat. Dia menyatakan bahwa kehidupan modern yang berkembang di Barat sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga umat manusia merasa ragu apakah akan menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang. Kegagalan ini, menurut Nasr adalah kesalahan konsep yang melandasinya. ‘’Peradapan modern telah ditegakan diatas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial bagi si umat ‘’. [2]

Nasr juga mengkritik proses pembaratan terhadap umat islam. Saat ini proses pembaratan yang dialami umat islam sudah mencapai puncakanya. Beberapa dimensi kehidupan, terutama tentang moral, politik, ekinomi, dan sains yang mengalami westernisasi yang sangat luar biasa.

Kejadian ini berlangsung secara mengejutkan, apalagi dengan adanya gelombang transformasi melalui jembatan iptek, sudah dapat dipastikan segala bentuk peradapan barat. Nasr mengamati kejadian ini sebagai bencana yang mengancam kehidupan umat manusia. Menurutnya, manusia modern hidup dipinggir lingkaran eksistensinya sehingga ia hanya dapat melihat dari sudut pandangnya sendiri yang terbatas tanpa melihat sudut pandang dari pusat lingkaran eksistensi, pada hal ia dapat mencapainya dari jari-jari lingkaran.[3] Manusia modern tidak akan melakukan telusuran metafisis, karena mereka telah terjebak dalam pola pikiran yang empirisme dan pragmatisme dalam melihat sesuatu.

Dunia modern menurut pengamatan Nasr, ditandai dengan kecemasan terhadap bahaya perang, krisis ekologi, polusi udara dan air. Dampak yang paling akut yang dihadapi oleh manisia modern bukan berasal dari keterbelakangan melainkan, dari keterlalumajuan. Lebih dari itu, semua masalah dan krisis peradaban modern berakar dari populasi jiwa manusia yang muncul begitu manusia barat mengambil alihperan ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi ilahi dari kehidupan.

Pandangan Islam Tentang Alam

Nasr menyatakan, bahwa pandangan islam tentang tatanan lingkungan alam terdapat dalam al-quran. Terdapat dalam suatu pengertian, bahwa pesan al-quran berarti kembali pada pesan primodial tuhan kepada manusia. Karena itulah islam disebut dengan agama primodial (al-din al-hanif), al-quran sebagai kitab suci agama primodial tidak hanya berbicara kepada manusia saja, melainkan kepada seluruh kosmos. Sementara itu, didalam ayat tertentu Tuhan menjadikan anggota-anggota nonmanusia untuk menjadi saksi.

Nasr menyatakan, bahwa al-quran melukiskan alam sebagai mahkluk yang pada intinya merupakan teofani yang menyelubungi dan sekaligus menyingkapkan tuhan. Semua bentuk alam merupakan ‘’drama puitik’’ yang tak terbilang kayanya, yang menyimpan berbagai macam kualitas ilahi, tetapi pada saat yang sama alam juga menyibakan kualitas-kualitas itu bagi mereka yang mata hati belum dibutakan oleh ego yang sombong dan kecenderungan-kecenderungan sentripetal jiwa yang penuh nafsu. Nasr mengatakan bahwa kecintaan islam terhadap linkungan alam tidak boleh dikacaukan dengan naturalisme seperti dalam filsafat dan teologi barat.

Pandangan Islam Tentang Manusia

Dalam islam dijelaskan bahwa tuhan menciptakan manusia sebagai wakil dimuka bumi (al-khalifah) dan secara eksplitasi al-quran menegaska ‘’sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi’’ (2:30).

Nasr menyatakan, bahwa menjadi seorang manusia berarti menyadari akan tanggung jawab yang melekat dalam status wakil Tuhan dalam al-quran dinyatakan bahwa Tuhan telah ‘’menundukan’’ alambagi manusia sebagaimana yang tercantum dalam surat al-hajj ayat 65 yang artinya: ’’apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukan bagimu apa yang ada dibumi dan bahtera yang berlayar dilautan dengan perintah-Nya dan Ia menahan benda-benda langit yang jatuh kebumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasi lagi Maha Penyanyang kepada manusia’’. Penaklukan yang dimaksud adalah bukan berarti penaklukan alam seperti yang biasanya diklaim oleh sejumlah kaum muslim modern yang haus dengan kekuasaan seperti yang dijanjikan oleh ilmu pengetahuan modern kepada mereka, melainkan ‘’penaklukan’’ disini adalah segala apa yang ada dibumi diperbolehkan atas manusia , selam sesuai dengan hukum-hukum Tuhan dan itu diperbolehkan karena manusia adalah wakil Tuhan dimuka bumi.

Spiritualisme dan Sufisme

Nasr mengatakan, salah satu problem manusia adalah berkaitan dengan spiritualisme dan sufisme. Ia memandang positive terhadap sufisme, karena ia menilai salah satu kemunduran umat islam adalah terletak kekeringan batin manusia yang selama ini melanda manusia modern, sehingga doktrin-doktrin fikih yang kaku tidak mampu menghadapi serangan yang bertubi-tubi yang dilakukan oleh masyarakat barat.

Oleh karena itu, Nasr menilai bahwa sufisme adalah jalan untuk penyembuhan yang dibutuhkan oleh manusia modern. Karena selama masa pencarian yang dilakukan manusia modern dalam mencari jawaban atas kekeringan batin yang melandanya kepada agama Kristen dan Budha tidak menemukan hasil yang diharapkan. Dalam situasi yang membingungkan ini manusia modern mencari ajaran yang dapat membebaskan dari kekeringan batin ini, maka Nasr, menyatakan bahwa dimensi batiniah yang dimiliki Islam harus diperkenalkan sebagai jalan alternative yaitu dengan ajaran tasawuf.

Menurt Nasr, Sufisme adalah bagian dari Islam dan bukan trdisi yang berdiri sendiri. Sufisme adalah bunga atau getah dari pohon Islam, atau dapat diktakan sufisme adalah permata diatas mahkota trdisi Islam. Nasr berkata, apabila kita berbicara mengenai sufisme, berarti kita berbicara mengenai aspeek tradisi Islam yang paling universal.

Ada tiga tujuan yang diutarakan oleh Nasr dalam memperkenalkan sufisme kepada masyarakat barat, yaitu:

1. Menyelamatkan manusia dari kondisi yang membingungkan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual

2. Memperkenalkan aspek esoteris islam baik terhadap masyarakat islam maupun masyarakat barat

3. Menegaskan kembali bahwa aspek sufisme dalah jantung dari ajaran islam sehingga apabila wilayah ini kering dan tidak berdenyut lagi, maka keringlah aspek-aspek ajaran islam yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Khudori, Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Penerbit Jendela, 2003

Saefudin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, Jakarta, PT. Grasindo, 2003



[1] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, hal: 199

[2] Sayyed Hosein Nasr, islam dan nestapa manusia modern, hal. 19

[3] Harun nasution dan azyumardi azra, islam dalam dunia islam dewasa ini, hal. 53-54