Senin, 29 November 2010

Agnotisis

Menurut Britannica Encyclopedia, Darwin diketahui punya
semangat yang senada dengan kaum materialis dan atheis, yakni agnotisisme, suatu paham yang tidak
meyakini keberadaan Tuhan, tapi tidak juga menyangkal keberadaan Tuhan. Mereka
orang yang mengaku 'tidak tahu' tentang ada atau tidak adanya Tuhan.

Agnotisis muncul sebagai cerminan rasa ketidak-berdayaan manusia dalam
menemukan bukti keberadaan tuhan, sekaligus ketidak-beradaan tuhan.
Jadi agnotisis adalah responsi terhadap atheisme dan theisme.

A= tidak dan gnosis = tahu, bukan diartikan tidak tahu apa-apa, melainkan
berawal dari tidak tahu bahwa ‘theos’ itu ada atau tidak. Memang
implikasinya menjadi menyangkut tentang surga, dosa dsb. Tetapi pada awal
mulanya, ia hanya merupakan jawaban pasif atas pertanyaan menyangkut
eksistensi tuhan.
Jadi semacam ekspresi filosofis ‘mengangkat bahu’ : "tauk ah, gelap!".

Bila Theisme dan Atheisme adalah keyakinan, maka Agnoticisme adalah
ketidak-yakinan.
Beda antara Agnotist dengan orang yang belum tahu apa-apa, cuma satu hal.
Yang belum tahu apa-apa masih dalam proses memutuskan, sedang agnotist sudah
memutuskan (dengan berani) bahwa memang tidak mungkin bisa diketahui.

Karena hanya semacam reaksi, agnotisisme tidak mempunyai teori sendiri yang
berpretensi menerangkan sesuatu, melainkan hanya bertanya dan bertanya.
Sikap yang dipakai adalah sikap orang yang tidak/belum tahu apa-apa.
Posisi agnotis dalam diskusi memang menguntungkan, karena memang (menurut
saya), Allah tidak bisa difahami dengan ‘omong-omong’. Yang berhasil
didekati dengan omong adalah allah yang antroposentris, allah yang
diciptakan oleh manusia.

Dan ini yang dengan lahap ‘disikat’ habis oleh agnotisis, free-thinkers,
atheist. Makanan empuk bagi mereka. Karena pada hakekatnya, bahasa yang
dipergunakan untuk membicarakannya itu sendiri sudah memakai kaidah kaidah
keilmuan (agar tidak mirip omongannya orang gendheng).
Paling tidak, kita kan tidak bisa meracau seperti merapal mantra kalau
berdiskusi. Juga terikat oleh tata bahasa. Lalu ada semantika. Semiotika .
Belum lagi gaya bahasa. Contoh untuk semua itu dibahas dalam ilmu bahasa ( M
Pei tokohnya, dengan salah satu bukunya kalau tidak salah : The words in
sheep’s clothing - sebuah buku tua yang menarik).
Belum lagi logika. Sylogisme yang selalu ‘menghantui’ para partisipan
perdebatan. (Mas Beldandy suka galak soal ini).

Tapi apa yang tidak dilihat dalam konteks ‘berkomunikasi’, agnotis tidak
bisa menyerang melewati batas teritorinya, karena tak ada bahasa sebagai
jembatan. Al Gazali yang ber zikir bisa dianggap orang gila oleh agnotisis,
tetapi karena tidak ada pretensi untuk berkomunikasi dengan orang lain, maka
beliau ‘tidak bergeming’ dan menemukan Tuhannya dalam zikirnya.

Maka ‘amanlah’ para Theist dari serangan Agnotist/Atheist. Tetapi begitu
para Theist memakai bahasa, terbukalah ruang kosong untuk diserang. Karena
bahasa adalah wilayahnya ilmu, teritorinya rasionalitas, kaplingnya para
skeptik.
Milis ini sebagai bagian dari internet, mempergunakan bahasa. Maka jelas,
Agnotist/Atheist berkibar disini. Dalam homepagenya kaum skeptik (saya lupa
namanya), yang dimotori oleh beberapa orang India (tempat agama dianut
secara sangat intens), Sai Baba von Puttaparti ‘dihajar’ habis habisan. Dan
kaum theist ditantang-tantang.
Jadi sekali lagi, begitu Allah disebut, kita telah mereduksi gambaran
tentang Allah itu, karena sebutan ‘Allah’ adalah bahasa juga. Begitu Tuhan
dibicarakan, yang tertangkap bukanlah Tuhan itu, melainkan gambar manusia
(anthropos).

Para Theist seharusnya melakukan ‘pembelaan’ bukan dalam suatu pembuktian
analitis (yang mana pasti repot), melainkan dalam ajakan berkontemplasi.
Agnotist tidak mungkin bisa menjelaskan perbedaan rasa haru yang timbul
ketika seseorang melihat daun kuning terakhir yang rontok dimusim gugur
dengan ketika seseorang yang hanya terkejut: Wah, kirain apa yang jatuh,
taunya cuma daun.

"Rasa’ itulah yang bersifat ilahi - Yang mana tak mudah tertangkap oleh
rasionalitas.

Allah yang disebut ada adalah Allah yang tidak ada. Allah yang ada, tidak
tersebutkan.
Ada dan tidak itu identik.

dari buku Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer dan nemu beberapa terminologi di akhir bab 1:

1. Ateisme : paham yang menyangkal keberadaaan Tuhan berdasarkan bukti-bukti rasional.
2. Agnotisisme : paham yang tidak menyangkal maupun membenarkan keberadaan Tuhan, karena hal itu berada di luar jangkauan/kemampuan inderawi dan rasio manusia.
3. Fideisme : paham yang menyatakan bahwa pengetahuan religius (termasuk: keyakinan pada Tuhan) hanya dapat dijustifikasi atau ditetapkan berdasarkan iman, bukan akal budi.
4. Panteisme : paham yang menyatakan bahwa alam semesta adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam semesta. Tidak ada perbedaan antara pencipta dan ciptaan, Tuhan berada di manapun, di dalam segala sesuatu, dan adalah segala sesuatu.
5. Deisme : paham yang menyatakan bahwa setelah menciptakan alam beserta hukum-hukumnya, Tuhan menarik diri dan tidak memainkan peran di dalamnya. Tuhan digambarkan seperti seorang pembuat jam yang kemudian pensiun

perihal keberadaan orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan (ateis) dan yang tidak mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak (agnostik). Karena tidak percaya atau tidak mampu percaya mereka memilih untuk tidak beragama. Keberadaan mereka pada masyarakat pascamodern, yang tanpa metanarrative, seperti masyarakat Inggris, adalah lumrah. Akan tetapi, lain halnya dalam masyarakat Indonesia yang semi-industri dan modern. Kebanyakan yang tidak percaya pada Tuhan masih belum berani membuka diri, bahkan untuk “berbicara”, karena tekanan masyarakat dan negara, melalui segenap peraturan dan konsensusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar