Selasa, 23 November 2010

fils manusia

Tubuh
penampilan fisik tubuh manusia adalah pusat kebudayaandan kesenian.

Dalam setiap kebudayaan manusia, orang gemar memperindah tubuhnya, dengantato,kos metik,pakaian,perhias an atau ornamen serupa. Model rambut juga mempunyai pengertian kebudayaan penting.K ecantikan ataukeburukan
rupa adalah kesan kuat subyektif dari penampilan seseorang.

Kebutuhan individu terhadapmakanan danminuman teratur secara jelas tercermin dalam kebudayaan manusia (lihat pula ilmu makanan). Kegagalan mendapatkan makanan secara teratur akan berakibat rasa lapar dan pada akhirnyakelaparan (lihat jugamalnutris i).

Rata-rata waktutidur adalah 8 jam per hari untuk dewasa dan 9–10 jam untuk anak-anak. Orang yang lebih tua biasanya tidur selama 6–7 jam. Sudah umum, namun, dalam masyarakatmodern bagi orang-orang untuk mendapat waktu tidur kurang dari yang mereka butuhkan.
Tubuh manusia diancam prosespenuaan danpenyakit. Ilmu pengobatan
adalah ilmu pengetahuan yang menelusuri metode penjagaankes ehatan tubuh.
E.Kelahiran dank ematian
Kehidupan subyektif individu berawal pada kelahirannya, atau dalam fase
kehamilan terdahulu, selama janin berkembang di dalam tubuh ibu. Kemudian

kehidupan berakhir dengankemati an individu. Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa luar biasa yang membatasi kehidupan manusia, dapat mempunyai pengaruh hebat terhadap individu tersebut. Kesulitan selama melahirkan dapat berakibattrauma dan kemungkinan kematian dapat menyebabkan rasa keberatan (tak mudah) atauketakutan (lihat pula


Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen- konstituen non material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dabukti kecerdasan manusia.

Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu empiria yang artinya pengalaman..Empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.

Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen-konstituen non material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia.

Mahmudi, Studi Kasus Sebagai Strategi Riset untuk Mengembangkan Akuntansi Sektor Publik
ISSN: 1410 – 2420
JAAI VOLUME 7 NO. 1, JUNI 2003
53
agar dapat diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang
berlandaskan filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu
nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dan
generalisasinya. Kebenaran dicari melalui hubungan kausal-linear.
Secara aksiologis, positivisme menuntut agar penelitian itu
bebas nilai (value free). Positivisme mengejar obyektivitas agar dapat
ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan
tempat (Muhadjir, 2002, pp. 11-14).
Para peneliti positivisme lebih memilih data kuantitatif daripada
data kualitatif. Mereka berusaha untuk mencari obyektivitas ilmu melalui
pengujian hipotesis dengan alat ukur yang pasti dan tepat. Kebanyakan
para peneliti terapan (seperti: kriminolog, analis kebijakan, evaluator
program, periset pasar, dan perencana) menganut positivisme.
Pendekatan positivistik mengandung beberapa kelemahan
sehingga memunculkan aliran post-positivisme. Aliran post-positivisme
ini antara lain aliran rasionalisme, interpretive social science,c r itic a l
social science, feminisme, dan post-modernism.
Tokoh-tokoh post-positivisme rasionalisme antara lain Daniel
Bell, Toynbee, Herbert Spencer, dan John Dewey (Neuman, 2003). Post-
positivisme rasionalistik menggunakan rasionalisme dalam menyusun
kerangka teori dan memberikan intepretasi atas hasil penelitian serta
menggunakan empirisme dalam menguji obyek penelitiannya. Menurut
positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri,
sedangkan menurut rasionalisme ilmu yang valid merupakan abstraksi,
simplifikasi, atau idealisasi dari realitas dan terbukti koheren dengan
sistem logikanya. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun
konsep teoritik. Ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang
berlandaskan positivisme menjadi miskin konseptualisasi teoritiknya.
Tidak ada teori-teori baru yang mendasar yang muncul, sehingga
banyak ilmu sosial yang mengalami stagnasi (Muhadjir, 2..Kelompok rasionalisme juga mengkritik positivisme yang mengandalkan
kebenaran pada empirik inderawi saja. Menurut rasionalisme,
kemampuan manusia untuk menggunakan daya pikir dan nalar (empirik
logik) bisa memberikan arti yang lebih berarti daripada empirik inderawi.
Pendekatan positivistik dan rasionalisme juga mengandung
kelemahan, sehingga memunculkan aliran interpretive social science
yang mengoreksi kelemahan tersebut. Kelemahan dalam rasionalisme
adalah terlalu percaya pada empirik logik serta mengabaikan
phenomena berupa persepsi dan keyakinan subyek tentang sesuatu di
luar subyek yang bersifat transenden. Tokoh interpretive social science
antara lain Max Weber (1864-1920), Wilhem Dilthey (1833-1914)
dengan bukunya “Einleitung in die Geisteswissenshaften”
Pendekatan positivisme dan rasionalisme hanya mengakui kebenaran
apabila dapat dibuktikan melalui empirik inderawi dan empirik logik.
Sementara itu, pendekatan interpretive social science mengakui adanya
kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak
kebenaran, menjelaskan fenomena, dan berargumentasi. Jadi kriterianya
bukan sekedar benar dan salah, akan tetapi mencakup nilai moral.
Asumsi dasarnya adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan
tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik dalam tahap mengamati,
menghimpun data, menganalisis, maupun dalam membuat kesimpulan.
Pendekatan interpretive mengajak untuk menggunakan logika
reflektif di samping logika induktif dan deduktif, serta logika materiil dan
logika probabilistik. Pendekatan interpretive bukan hendak menampilkan
teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, namun
mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar